Baru-baru ini situs Akamai merilis data mengenai koneksi internet di
seluruh dunia. Dari data itu, Indonesia keluar sebagai negara yang
memiliki kualitas "paling lemot" ketimbang negara-negara di kawasa Asia
Tenggara (ASEAN).
Menanggapi data yang dikeluarkan tersebut, Pakar Telematika, Ruby
Alamsyah berpendapat bahwa data yang dikeluarkan Akamai kurang obyektif
karena hanya melihat dari presentase dari populasi pengguna internet di
setiap negara. "Itu kan presentase dari keseluruhan pengguna internet,
jelas saja Indonesia bila dari presentasi koneksi internet lebih rendah
dengan negara lain karena jumlah penduduk Indonesia relatif cukup besar
ketimbang Korea Selatan," jelasnya kepada Okezone Senin (22/10/2012).
Menurut Ruby, dengan jumlah penduduk Korea Selatan yang mencapai 48 juta
jiwa dengan total penetrasi pengguna internet 40 juta lebih atau sekira
82,7 persen, maka pantas bila Negeri Gingseng menjadi negara yang
memiliki presentase koneksi internet lebih cepat.
Sementara itu, Indonesia dengan total penduduk 237 juta jiwa lebih
dengan penetrasi internet hanya 22,4 persen atau sekira 55 juta pengguna
per Desember 2011, maka tak heran jika secara presentase kecepatan
koneksi internet Indonesia sangat rendah ketimbang dengan negara lain
yang memiliki jumlah penduduk lebih kecil.
"Pengguna internet di Tanah Air belum mencakup separuh dari total
populasi pengguna, berbeda dengan negara lain yang lebih kecil
populasinya seperti Korea Selatan dan Singapura, terlebih apabila
dilihat dari penetrasi pengguna internet di negara itu," terangnya.
Infrastruktur Tanah Air Belum Maksimal
Kurang maksimalnya sejumlah infrastruktur jaringan di Tanah Air
sedikit-banyak berkontribusi terhadap kualitas jaringan Internet di
Indonesia. Ruby pun menyoroti sejumlah infrastruktur seperti Fiber Optic
(FO) yang masih idle (belum terpakai).
"Data yang dikeluarkan Akamai ada benarnya juga kalo soal speed. Namun
yang harus digaris bawahi ialah banyaknya sejumlah infrastruktur
internet di Indonesia yang belum dioptimalisasi dengan baik," paparnya.
Misalnya, Ruby mencontohkan hanya daerah tertentu seperti Jakarta dan
beberapa kota besar yang memiliki koneksi mumpuni, namun sayangnya di
sejumlah lain seperti kota-kota kecil dan di pelosok yang belum
terjangkau dengan internet.
"Infrastruktur telekomunikasi yang tidak terpakai harus dioptimalkan,
kemudian sejumlah masalah dan isu terkait juga perlu dibenahi oleh
pemerintah dan operator. Apabila program Universal Service Obligation
(USO) di bidang telekomunikasi dan Palapa Ring rampung, maka
konektivitas internet Indonesia dapat diandalakan dan penetrasi pengguna
juga akan meningkat," katanya Optimis.
Untuk diketahui, USO merupakan program di bidang telekomunikasi yang
dikampanyekan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk
wilayah-wilayah di Tanah Air yang belum terjangkau dengan teknologi
informasi. Dalam praktiknya, Kominfo menggelar sejumlah program USO
meliputi, Desa Berdering (menyediakan jaringan telefon), Desa Pintar
(menyediakan jaringan internet), dan Radio Komunitas. Program USO
dijalankan pemerintah guna mencapai masyarakat berbasis informasi pada
2025. Untuk program hingga 2014 adalah menjangkau layanan dasar di
hampir tiga puluh empat ribu desa.
Sementara itu, Palapa Ring ialah proyek pembangunan jaringan serat optik
nasional yang akan menjangkau 33 provinsi, 440 kota/kabupaten di
penjuru Tanah Air dengan total panjang kabel laut mencapai mencapai
35.280 kilometer, dan kabel di daratan adalah sejauh 21.807 kilometer.
Serat optik sendiri meruapakan saluran informasya yang terbuat dari
material kaca atau plastik, di mana saluran tersebut digunakan untuk
mentransmisikan sinyal cahaya dari suatu tempat ke tempat lain.
Kecepatan transmisi serat optik sangat tinggi, sehingga sangat bagus
digunakan sebagai saluran komunikasi. Serat optik umumnya digunakan
dalam sistem telekomunikasi serta dalam pencahayaan, sensor, dan optik
pencitraan.
sumber